[fiksi]
Jauh
sebelum kedatangan orang-orang dari Barus, Nageri Lau Petani telah dihuni lebih
dahulu oleh orang – orang rantau Pagaruyung. Karena suka merantau orang – orang
Pagaruyung ini banyak meninggalkan tanah mereka di Nageri Lau Petani. Nageri
Lau Petani yang luas dan tanahnya yang ramah bagi setiap penghuninya menjadi
lokasi perantauan yang bagus bagi setiap orang yang baru kalah dari peperangan.
Puncak – puncak gunung di Daksina dan tanah menurun ke Utara adalah gambaran
alam Nageri Lau Petani.
Kedatangan
pedagang Arab ke Barus, selain membawa dampak positif bagi perkembangan dunia
perdagangan Andalas juga menjadi ancaman bagi kaum Barus yang amat besar ini.
Selain berdagang kaum Arab ini juga menyebarkan ajaran Islam yang sangat
berbeda dengan ajaran kaum Barus ini. Seperti layaknya dari zaman ke zaman,
bahwa anak rantau yang tahan derita akan lebih mampu bertahan hidup dan semakin
jaya. Dan jaya. Agama Islam telah berdiri di Tanah Barus. Surau – surau telah
berdiri ratusan di seluas Tanah Barus. Setiap sore, kumandang nyanyian memuji
kebesaran Dibata berbahasa Arab selalu berkumandang.
Orang
– orang Barus juga telah banyak yang menjadi Islam. Mereka meninggalkan ajaran
nenek moyangnya. Yang telah ratusan dan ribuan tahun menjadi pedoman hidup
mereka dan menjaga keterntraman hidup kaum – kaum Barus. Namun, tidak sedikit
juga kaum Barus ini yang senang dengan ajaran Islam yang baru itu. Mereka lebih
memilih mencari daerah baru untuk hidup dengan Butara Sang Dibata yang akan
memberikan damai dan yang akan menuntun hidup mereka menuju tanah yang memberi
hidup bagi yang patuh kepada Dibata.
Kaum
yang berpindah ini bukan sedikit jumlahnya. Mereka bergerak serentak dengan
kuda dari Tanah Barus menuju kea rah Barat dan Utara mencari tanah yang belum
dihuni atau setidaknya masih dapat memuat kaum Barus ini. Mereka akhirnya
tersebar menurut keturunan mereka. Ada yang menetap dengan penduduk yang mereka
temui. Ada juga yang mendirikan Kuta baru sesuai dengan nama keturunan mereka.
Tanpa mereka sadari bahwa mereka telah menjadi kaum yang sangat besar dan
tersebar di Pulau Perca ini. Kaum terbesar mereka tetap menamai diri mereka
adalah Barus. Sedang yang lainnya masih tetap mengaku bersaudara apabila
bertemu sekalipun memakai nama nenek moyang mereka dibelakang namanya.
Nageri
Lau Petani masih begitu luas untuk menampung kaum – kaum Barus ini. Karena
mendapati kaum Pagaruyung sebagai pemilik tanah di Lau Petani maka kaum Barus
ini rela menjadi panglima – panglima kaum Pagaruyung. Anak Beru. Kerendahan
hati kaum Pagaruyung ini juga patut dipuji dan terus diingat oleh kaum Barus.
Dengan hati yang lapang, kaum Pagaruyung memberikan tanah Nageri Lau Petani
menjadi milik sah kaum Barus. Batas kejurun Pagaruyung dan Barus adalah Deleng
Ganjang. Dari Deleng Ganjang ke sebelah Barat adalah Tanah Kaum Pagaruyung yang
mendekati Laut Teba, sedangkan dari Deleng Ganjang ke arah Timur dan Utara
adalah menjadi milik kaum Barus.
Kesepakatan
Raja Sumbiring, keturunan Pagaruyung ini dengan kaum Barus menjadi titik tolak
persahabatan yang kuat. Dari kesepakatan itu juga kaum Barus senantiasa
menerima kaum Sumbiring Pagaruyung untuk hidup di tengah – tengah mereka dengan
memberikan tanah di anatara Nageri Lau Petani. Taneh Gunung Meriah. Demikian
Tanah itu dinamai. Disanalah kemeriahan kaum Barus akan selalu dikenang atas
pemberian Kaum Sumbiring Pagaruyung. Dan Gunung Meriah adalah satu – satunya
Kuta Sumbiring Pagaruyung di tengah – tengah kaum Barus ini. Selebihnya kaum
Sumbiring hidup sebagai Kalimbubu di tengah-tengah perkampungan kaum Barus.
Kaum
Barus yang lain terus bergerak ke arah Barat pulau Perca. Mereka mendirikan
Kuta –kuta yang baru sesuai dengan nama kelompok mereka. Deli, Raja, Kubu
Colia, Sari Nembah, Kancan, itu merupakan kuta –kuta kaum Barus yang mereka
dirikan atas pemberian tanah dari Raja – raja yang mereka temui. Perjalanan
kaum Barus ini berakhir pada tanah yang telah dihuni secara ramai oleh penduduk
asli Pulau Perca. Ginting dan Kuta Buluh. Kuta – kuta di kedua kerajaan ini
telah ramai penduduk dan karena itu kaum Barus ini hidup berdampingan dengan
masyarakat di Kejurun Kaum Ginting dan Kaum Kuta Buluh.
Kaum
Barus selain di Nageri Lau Petani tidak memakai Barus dalam identitas diri
mereka. hanya orang – orang di Nageri Lau Petani yang tetap menamai diri mereka
Barus. Gunung Barus, sebuah puncak gunung dinamai kaum mereka demikian untuk
mengenang kebesaran kaum mereka. Gunung ini juga menjadi pembatas antara Nageri
Lau Petani Suah dan Nageri Lau Petani Gugung. Semua perkampungan kaum Barus
masih dapat melihat puncak Gunung Barus baik yang berada di Utara maupun di
Selatan Gunung Barus.
Saat
itu, kejurun Barus masih bersatu dalam persaudaraan yang rukun. Kejurun
Serdang. Yaa, nama itu adalah nama kebesaran kerajaan mereka yang begitu luas.
Perpecahan kerajaan ini diawali dengan sikap Raja Urung Si Pitu Kuta. Perjudi
Daudas. Penjudi Keras demikian ia dipanggil oleh warganya. Seperempat tanah
kerajaan di Nageri Lau Petani Gugung telah digadaikan kepada kaum Sitepu dan
seperempat lagi telah dimiliki oleh Kaum Munte. Kuda – kuda warga juga telah
semua diambil untuk membayar utang ke
Raja Taneh Pinem. Hal ini juga lah yang mengakibatkan tidak terlihat
lagi seekor kuda pun di Tanah Urung Si Pitu Kuta. Semua kuda telah diboyong ke
Tanah Pinem. Gunung Sitember. Beruntung, kaum Sitepu masih megnijinkan orang –
orang Barus hidup di tanah tersebut, namun tanah itu merupakan pemberian kaum
Sitepu dan menjadikan Barus sebagai saudara mereka. Mengemis di tanah sendiri.
Penderitaan
warga ini akhirnya sampai ke Tua – Tua Kaum Barus di Senembah Serdang. Berita
ini dibawa oleh Perlanja Sira. Orang – orang yang membeli garam ke daerah
pinggir laut Melaka, tanah kaum Pelawi, saudara mereka yang juga dari Barus.
Berita penderitaan rakyat Barus Urung Si Pitu Kuta menjadi bahan perdebatan
antar kaum tua – tua Barus.
Tak
lama berselang hari. Raja Urung Si Pitu Kuta di undang ke Senembah Serdang di
Petumbak. Tua – tua Senembah Serdang telah berkumpul, juga hadir saat itu
kelompok yang mereka hormati, kaum Sumbiring Pagaruyung Gunung Meriah. Dari
Urung Si Pitu Kuta hadirlah Raja. Tubuhnya tinggi namun kurus, berkulit hitam
dan matanya agak berbentuk bulat. Ia datang bersama panglima – panglimanya. Dua
puluhan orang dari kaum Silangit dan Keliat. Dari pertemuan itu, tua – tua
memberikan petisi bahwa Raja Urung Si Pitu Kuta tidak dapat mengganggu
kepemilikan masyarakat dalam urusan pribadinya. Terutama perjudiannya. Kuda –
kuda masyarakat yang telah diambil juga akan segera dikembalikan dengan bantuan
dari kejurun Senembah. Hal tersebut disepakati Raja Urung Si Pitu Kuta dengan
disaksikan oleh kaum Sumbiring Pagaruyung. Sore harinya, Raja Urung Si Pitu
Kuta pulang bersama kaumnya dan panglima – panglimanya dengan dibekali makanan
dan banyak emas juga perak. Emas dan perak begitu berlimpah di Nageri Lau
Petani Suah. Hal tersebut dilakukan sebagai uang muka pengganti kuda masyarakat
yang telah tergadai.
Sifat
baik susah ditumbuhkan. Sifat buruk mudah bertumbuh. Emas yang banyak, dan
perak yang berlimpah itu dipakai Raja Urung Si Pitu Kuta sebagai gaji pengawal,
penjagal dan modal berjudi kembali. Berita perjudiannya lama tidak sampai ke
Kerajaan Senembah Serdang. Itu bukan karena apa – apa. Setiap perlanja sira
yang dianggap dapat membocorkan rahasia perjudian raja maka akan dibunuh oleh
penjaga dan penjagal raja. Sekalipun Perlanja Sira mengetahui sifat buruknya
itu, karena perasaan takut dibunuh mereka tidak memberitahukan sebenarnya
kepada tua – tua Senembah Serdang
“ kabar baiklah diberitakan”
“Raja
baik, masyarakat baik,”
“semua
baik”
(“semehulinalah i turiken”
“Raja mejuah –
juah, rayat mejuah – juah”
“kerina mejuah – juah”)
0 komentar:
Posting Komentar