Pages

Ads 468x60px

Selasa, 27 Mei 2014

KEJURUN SERDANG (KERAJAAN SERDANG)

Oleh : Tua Raja

[fiksi]



            Jauh sebelum kedatangan orang-orang dari Barus, Nageri Lau Petani telah dihuni lebih dahulu oleh orang – orang rantau Pagaruyung. Karena suka merantau orang – orang Pagaruyung ini banyak meninggalkan tanah mereka di Nageri Lau Petani. Nageri Lau Petani yang luas dan tanahnya yang ramah bagi setiap penghuninya menjadi lokasi perantauan yang bagus bagi setiap orang yang baru kalah dari peperangan. Puncak – puncak gunung di Daksina dan tanah menurun ke Utara adalah gambaran alam Nageri Lau Petani.
            Kedatangan pedagang Arab ke Barus, selain membawa dampak positif bagi perkembangan dunia perdagangan Andalas juga menjadi ancaman bagi kaum Barus yang amat besar ini. Selain berdagang kaum Arab ini juga menyebarkan ajaran Islam yang sangat berbeda dengan ajaran kaum Barus ini. Seperti layaknya dari zaman ke zaman, bahwa anak rantau yang tahan derita akan lebih mampu bertahan hidup dan semakin jaya. Dan jaya. Agama Islam telah berdiri di Tanah Barus. Surau – surau telah berdiri ratusan di seluas Tanah Barus. Setiap sore, kumandang nyanyian memuji kebesaran Dibata berbahasa Arab selalu berkumandang.
            Orang – orang Barus juga telah banyak yang menjadi Islam. Mereka meninggalkan ajaran nenek moyangnya. Yang telah ratusan dan ribuan tahun menjadi pedoman hidup mereka dan menjaga keterntraman hidup kaum – kaum Barus. Namun, tidak sedikit juga kaum Barus ini yang senang dengan ajaran Islam yang baru itu. Mereka lebih memilih mencari daerah baru untuk hidup dengan Butara Sang Dibata yang akan memberikan damai dan yang akan menuntun hidup mereka menuju tanah yang memberi hidup bagi yang patuh kepada Dibata.
            Kaum yang berpindah ini bukan sedikit jumlahnya. Mereka bergerak serentak dengan kuda dari Tanah Barus menuju kea rah Barat dan Utara mencari tanah yang belum dihuni atau setidaknya masih dapat memuat kaum Barus ini. Mereka akhirnya tersebar menurut keturunan mereka. Ada yang menetap dengan penduduk yang mereka temui. Ada juga yang mendirikan Kuta baru sesuai dengan nama keturunan mereka. Tanpa mereka sadari bahwa mereka telah menjadi kaum yang sangat besar dan tersebar di Pulau Perca ini. Kaum terbesar mereka tetap menamai diri mereka adalah Barus. Sedang yang lainnya masih tetap mengaku bersaudara apabila bertemu sekalipun memakai nama nenek moyang mereka dibelakang namanya.
            Nageri Lau Petani masih begitu luas untuk menampung kaum – kaum Barus ini. Karena mendapati kaum Pagaruyung sebagai pemilik tanah di Lau Petani maka kaum Barus ini rela menjadi panglima – panglima kaum Pagaruyung. Anak Beru. Kerendahan hati kaum Pagaruyung ini juga patut dipuji dan terus diingat oleh kaum Barus. Dengan hati yang lapang, kaum Pagaruyung memberikan tanah Nageri Lau Petani menjadi milik sah kaum Barus. Batas kejurun Pagaruyung dan Barus adalah Deleng Ganjang. Dari Deleng Ganjang ke sebelah Barat adalah Tanah Kaum Pagaruyung yang mendekati Laut Teba, sedangkan dari Deleng Ganjang ke arah Timur dan Utara adalah menjadi milik kaum Barus.
            Kesepakatan Raja Sumbiring, keturunan Pagaruyung ini dengan kaum Barus menjadi titik tolak persahabatan yang kuat. Dari kesepakatan itu juga kaum Barus senantiasa menerima kaum Sumbiring Pagaruyung untuk hidup di tengah – tengah mereka dengan memberikan tanah di anatara Nageri Lau Petani. Taneh Gunung Meriah. Demikian Tanah itu dinamai. Disanalah kemeriahan kaum Barus akan selalu dikenang atas pemberian Kaum Sumbiring Pagaruyung. Dan Gunung Meriah adalah satu – satunya Kuta Sumbiring Pagaruyung di tengah – tengah kaum Barus ini. Selebihnya kaum Sumbiring hidup sebagai Kalimbubu di tengah-tengah perkampungan kaum Barus.
            Kaum Barus yang lain terus bergerak ke arah Barat pulau Perca. Mereka mendirikan Kuta –kuta yang baru sesuai dengan nama kelompok mereka. Deli, Raja, Kubu Colia, Sari Nembah, Kancan, itu merupakan kuta –kuta kaum Barus yang mereka dirikan atas pemberian tanah dari Raja – raja yang mereka temui. Perjalanan kaum Barus ini berakhir pada tanah yang telah dihuni secara ramai oleh penduduk asli Pulau Perca. Ginting dan Kuta Buluh. Kuta – kuta di kedua kerajaan ini telah ramai penduduk dan karena itu kaum Barus ini hidup berdampingan dengan masyarakat di Kejurun Kaum Ginting dan Kaum Kuta Buluh.
            Kaum Barus selain di Nageri Lau Petani tidak memakai Barus dalam identitas diri mereka. hanya orang – orang di Nageri Lau Petani yang tetap menamai diri mereka Barus. Gunung Barus, sebuah puncak gunung dinamai kaum mereka demikian untuk mengenang kebesaran kaum mereka. Gunung ini juga menjadi pembatas antara Nageri Lau Petani Suah dan Nageri Lau Petani Gugung. Semua perkampungan kaum Barus masih dapat melihat puncak Gunung Barus baik yang berada di Utara maupun di Selatan Gunung Barus.
            Saat itu, kejurun Barus masih bersatu dalam persaudaraan yang rukun. Kejurun Serdang. Yaa, nama itu adalah nama kebesaran kerajaan mereka yang begitu luas. Perpecahan kerajaan ini diawali dengan sikap Raja Urung Si Pitu Kuta. Perjudi Daudas. Penjudi Keras demikian ia dipanggil oleh warganya. Seperempat tanah kerajaan di Nageri Lau Petani Gugung telah digadaikan kepada kaum Sitepu dan seperempat lagi telah dimiliki oleh Kaum Munte. Kuda – kuda warga juga telah semua diambil untuk membayar utang ke  Raja Taneh Pinem. Hal ini juga lah yang mengakibatkan tidak terlihat lagi seekor kuda pun di Tanah Urung Si Pitu Kuta. Semua kuda telah diboyong ke Tanah Pinem. Gunung Sitember. Beruntung, kaum Sitepu masih megnijinkan orang – orang Barus hidup di tanah tersebut, namun tanah itu merupakan pemberian kaum Sitepu dan menjadikan Barus sebagai saudara mereka. Mengemis di tanah sendiri.
            Penderitaan warga ini akhirnya sampai ke Tua – Tua Kaum Barus di Senembah Serdang. Berita ini dibawa oleh Perlanja Sira. Orang – orang yang membeli garam ke daerah pinggir laut Melaka, tanah kaum Pelawi, saudara mereka yang juga dari Barus. Berita penderitaan rakyat Barus Urung Si Pitu Kuta menjadi bahan perdebatan antar kaum tua – tua Barus.
            Tak lama berselang hari. Raja Urung Si Pitu Kuta di undang ke Senembah Serdang di Petumbak. Tua – tua Senembah Serdang telah berkumpul, juga hadir saat itu kelompok yang mereka hormati, kaum Sumbiring Pagaruyung Gunung Meriah. Dari Urung Si Pitu Kuta hadirlah Raja. Tubuhnya tinggi namun kurus, berkulit hitam dan matanya agak berbentuk bulat. Ia datang bersama panglima – panglimanya. Dua puluhan orang dari kaum Silangit dan Keliat. Dari pertemuan itu, tua – tua memberikan petisi bahwa Raja Urung Si Pitu Kuta tidak dapat mengganggu kepemilikan masyarakat dalam urusan pribadinya. Terutama perjudiannya. Kuda – kuda masyarakat yang telah diambil juga akan segera dikembalikan dengan bantuan dari kejurun Senembah. Hal tersebut disepakati Raja Urung Si Pitu Kuta dengan disaksikan oleh kaum Sumbiring Pagaruyung. Sore harinya, Raja Urung Si Pitu Kuta pulang bersama kaumnya dan panglima – panglimanya dengan dibekali makanan dan banyak emas juga perak. Emas dan perak begitu berlimpah di Nageri Lau Petani Suah. Hal tersebut dilakukan sebagai uang muka pengganti kuda masyarakat yang telah tergadai.
            Sifat baik susah ditumbuhkan. Sifat buruk mudah bertumbuh. Emas yang banyak, dan perak yang berlimpah itu dipakai Raja Urung Si Pitu Kuta sebagai gaji pengawal, penjagal dan modal berjudi kembali. Berita perjudiannya lama tidak sampai ke Kerajaan Senembah Serdang. Itu bukan karena apa – apa. Setiap perlanja sira yang dianggap dapat membocorkan rahasia perjudian raja maka akan dibunuh oleh penjaga dan penjagal raja. Sekalipun Perlanja Sira mengetahui sifat buruknya itu, karena perasaan takut dibunuh mereka tidak memberitahukan sebenarnya kepada tua – tua Senembah Serdang
           

“ kabar baiklah diberitakan”
            “Raja baik, masyarakat baik,”
            “semua baik”
            (“semehulinalah i turiken”
“Raja mejuah – juah, rayat mejuah – juah”
            “kerina mejuah – juah”)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates